Friday 28 December 2012

Pentingnya pemahaman COLREG 1972.


Pendahuluan

Kepada teman-teman yang senang membaca posting saya di blog ini, saya mohon maaf sudah agak lama saya tidak menulis…. Kali ini saya ingin menulis tentang pentingnya pemahaman Peraturan Internasional Pencegahan Tubrukan di Laut (P2TL), atau dikenal dengan Colreg 1972 (International Regulations for Preventing Collision at Sea, 1972), dan implementasinya…., dengan harapan dapat menjadi kajian kita bersama guna lebih meningkatkan keselamatan bernavigasi di laut.

Tentunya masih belum hilang dari ingatan kita, musibah tenggelamnya kapal ferry ro-ro KM Bahuga Jaya di Selat Sunda pada dini hari tanggal 26 September 2012 yang lalu, yang sebelumnya tubrukan dengan kapal tanker kimia (chemical tanker) MV Norgas Canthika yang berbendera Singapura. Tidak begitu lama sebelum dan sesudahnya, di perairan lain juga terdapat kecelakaan kapal dengan sebab yang sama, yaitu tubrukan (collision). Beberapa kecelakaan kapal karena tubrukan pada awal September – Oktober tahun ini (2012) cukup banyak. Beberapa yang penulis peroleh dari berbagai media elektronik antara lain:
·      Tanggal 9 September 2012 MV Sunny Horizon (bulk carrier) dengan MV DL Salvia (LPG carrier) di perairan Singapura (dekat Jurong).
·      Tanggal 14 September 2012 MV Norwegian Star (cruiser) dengan kapal dari Royal Caribbean’s Express (cruiser) di perairan Karibia.
·       Tanggal 1 Oktober 2012, 2 kapal ferry milik HK Electric Co.Ltd dan dari Kowloon Ferry, di perairan Hong Kong.
·      Tanggal 28 Oktober 2012, MV Pride of Burgundy dan MV Barlioz tubrukan di dekat pelabuhan Calais, Perancis Utara.

Saya tidak tahu persis sebab dari tubrukan dari masing-masing kapal di atas, namun secara umum saya memiliki keyakinan terkait dengan pemahaman para navigator terhadap keselamatan navigasi termasuk bagaimana mengaplikasikan Colreg 1972 sebagaimana yang telah dirobah beberapa kali.

Jumlah kapal pada decade terakhir ini meningkat secara signifikan, menyebabkan lalu lintas kapal baik di lautan bebas maupun di selat-selat yang dilayari kapal kapal, makin ramai dan padat, sehingga resiko tubrukan di laut juga makin tinggi. Upaya-upaya pada waktu lalu sampai saat ini telah dan selalu dilaksanakan, baik melalui forum2 nasional, regional, maupun internasional. Di IMO, bahasan tentang hal ini menjadi tugas sidang sub komite Keselamatan Navigasi (NAV).

Peraturan Internasional tentang Pencegahan Tubrukan di Laut 1972 (P2TL 72) atau Colreg 1972

Peraturan tentang lalu lintas di laut secara international pertama kali diadopsi pada tahun 1960, yang dikenal dengan COLREG 1960. Proses penyempurnaan Colreg dilakukan terus menerus, sampai pada tanggal 20 Oktober 1972 disetujui oleh semua anggota IMO pada waktu itu, untuk mengadopsi Colreg yang baru menggantikan Colreg 1960, yang dikenal dengan Konvensi tentang Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut Internasional 1972 (Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea, 1972 – COLREG 1972). Di Indonesia dikenal dengan nama PIMTL (Peraturan Internasional Mencegah Tubrukan di Laut) atau P2TL (Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut). Colreg 1972 ini baru diberlakukan sejak tanggal 15 Juli 1977. Indonesia telah meratifikasi walaupun 2 tahun setelah diberlakukan, yaitu pada tahun 1979 melalui Keputusan Presiden nomor 50 tahun 1979.

Sejak diberlakukannya, P2TL 1972 telah mengalami perobahan-perobahan dengan amandemen berupa Resolusi2 hasil dari sidang-sidang Assembly IMO yaitu:
·      Resolusi A.464(XII), hasil sidang Assembly ke 12 tahun 1981;
·      Resolusi A.626(15), hasil sidang Assembly ke 15 tahun 1987;
·      Resolusi A.678(16), hasil sidang Assembly ke 16 tahun 1989;
·      Resolusi A.736(18), hasil sidang Assembly ke 18 tahun 1993; and
·      Resolusi A.910(22), hasil sidang Assembly ke 22 tahun 2001.

Resolusi sidang Assembly ke 22 tersebut memasukkan kapal jenis Wing-in Ground kedalam aturan P2TL.






Kompetensi Mualim dan Nakhoda tentang Colreg 1972 di Indonesia

Sesuai dengan STCW 1978 yang telah diamandemen beberapa kali (terakhir amandemen Manila 2010), kompetensi para petugas jaga navigasi di kapal, mulai dari supporting level, operational level sampai management level, baik yang berlayar di perairan internasional, domestic maupun pelayaran menyusur pantai, telah diberikan rambu2 ketentuan pengetahuan dan keterampilan minimal yang harus dimiliki. Ini artinya bahwa siapapun, dari level paling bawah samapai paling atas bila melakukan tugas jaga navigasi, mutlak wajib memahami implementasi Colreg 1972….

Sejak kita melaksanakan diklat kepelautan sesuai dengan STCW 1978 amandemen 1995, pemerintah Indonesia mengambil keputusan pelajaran dan mata uji “P2TL” digabung menjadi satu dengan “Dinas Jaga”, sehingga namanya menjadi “P2TL dan Dinas Jaga”. Kebetulan saya ikut terlibat dalam penyusunan kurikulum dan silabus diklatnya. Saya ingat betul bahwa kurikulum dan silabus telah disusun sedemikian rupa, tanpa mengurangi waktu pembelajaran aturan demi aturan Colreg 1972. Namun pelaksanaannya, ternyata di tiap2 diklat berbeda-beda. Diperkirakan ada indikasi aturan per aturan P2TL tidak diberikan secara lengkap (incomprehensive), sehingga pemahaman mulai dari azas keselamatan, sistimatika dan substansi tiap-tiap aturan tidak mampu ditransfer dengan baik.

Beberapa indikasi kurangnya pemahaman para navigator terhadap COLREG 1972.

Saya beberapa kali mendapatkan pertanyaan atas keraguan dari teman-teman Mualim dan Nakhoda: “penerangan apa yang wajib dinyalakan pada waktu mesin induk rusak dan kapal berlabuh jangkar (menurut Collreg 1972)?”. Kebanyakan yang bertanya berpendapat dengan penuh keraguan: “penerangan labuh jangkar dan 2 penerangan keliling warna merah bersusun tegak”.
Pertanyaan tersebut tidak akan terjadi apabila para Mualim dan Nakhoda memahami secara benar aturan demi aturan Colreg 1972.

Coba kita lihat lagi aturan2 pada Collreg 1972 terkait:
1.     Aturan 3(f): istilah "kapal tidak dapat di olah gerak” (vessel not under command) boleh jadi karena mesinnya rusak atau sistim pengemudian kapalnya tidak bekerja. Sehingga menurut aturan 27(1)(a) wajib memasang 2 penerangan keliling warna merah bersusun tegak di malam hari, atau 2 bola2 hitam bersusun tegak di siang hari. Tetapi pada sub ayat (iii) tertulis: when making way through the water….” (bila memiliki kecepatan terhadap air…) ditambah penerangan lambung (side lights) dan penerangan buritan (stern light). Kedua penerangan terakhir adalah untuk kapal yang sedang berlayar (underway) – aturan 23.
2.     Aturan 30: ayat (a), (b) dan (c) adalah ketentuan penerangan dan sosok-benda untuk kapal yang sedang berlabuh jangkar. Sedangkan ayat (d) adalah untuk kapal kandas. Kedua situasi tersebut sudah dibedakan penerangan dan sosok bendanya.
3.     Dengan memasang penerangan labuh jangkar dan 2 penerangan keliling warna merah bersusun tegak, berarti kapal tersebut adalah kapal kandas - Aturan 30(d). Bukan kapal berlabuh jangkar dan mesin induknya rusak.

Menurut penuturan para pelaut setelah saya jelaskan seperti itu, ada beberapa yang mengatakan: “Kalau di pelabuhan Indonesia sering ditegor Syahbandar kalau mesin induk rusak tidak memasang 2 penerangan keliling warna merah bersusun tegak”. Mudah-mudahan itu tidak benar. Kalau penyampaian itu benar, para Syahbandar harus di ‘up-grade’ pemahamannya tentang implementasi Colreg 1972.

Contoh lain lagi…… musibah tubrukan antara kapal MV Bahuga Jaya dengan MT Norgas Canthika di Selat Sunda bulan September 2012 yang lalu. Saya berusaha mencari informasi, baik di media cetak maupun elektronik. Tetapi setelah saya dapatkan berita dari berbagai sumber, saya bingung karena informasi tentang kecelakaan tersebut simpang siur, yang menurut saya banyak yang perlu diluruskan. Antara lain pemahaman terhadap Aturan 15 (crossing situation) dan Aturan 17 (Action by stand-on vessel) Colreg 1972.

Coba baca baik-baik clipping di bawah ini. Dari siapa mereka mendapat informasi untuk diberitakan ke publik?



The fact is………. Aturan 15 P2TL 1972 berlaku di laut bebas, perairan sempit dan selat, serta di tata lalu-lintas (traffic separation schemes – TSS). Kapal yang melihat kapal lain di lambung kanannya (pada malam hari melihat penerangan lambung kiri kapal lain – warna merah) wajib menghindar (tidak seperti yang diberitakan oleh Radar Lampung di atas).
Apakah benar di TSS Aturan 15 juga berlaku? Hal ini ditegaskan pada aturan 10(a): Aturan ini berlaku di TSS yang di adopsi IMO dan tidak membebaskan setiap kapal dari kewajiban mematuhi Aturan lain yang manapun (This Rule applies to traffic separation schemes adopted by the Organization and does not relieve any vessel of her obligation under any other Rule)
Sepengetahuan saya, di Selat Sunda belum terdapat TSS yang di adopsi IMO.

Gambar: Kapal (b) wajib menyimpang atau menghindar dari lintasan kapal (a)

Sedangkan Aturan 17 Collreg 1972 memang memang menetapkan bahwa kapal yang bertahan harus mempertahankan haluan dan kecepatan. Tetapi bila kapal yang wajib menghindar tidak mampu melakukan tindakan dengan aman, ia harus membantu upaya menghindar, dan apabila merobah haluan, tidak ke kiri (Aturan 17 c). Kapal yang bertahan juga memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan menghindar (Aturan 17-d: This Rule does not relieve the give-way vessel of her obligation to keep out of the way)

Masih banyak lagi kasus-kasus yang mengarah pada asumsi bahwa para Mualim dan Nakhoda kapal, serta pejabat Kesyahbandaran tidak memahami aturan demi aturan Colreg 1972. Mungkinkah ini disebabkan karena pelajaran P2TL dijadikan satu dengan Dinas Jaga? Kalau jawabannya “YA”, maka mata pelajaran P2TL dan Dinas Jaga harus dipisahkan. Karena materi pelajaran Dinas Jaga tidak banyak, saya berpendapat cukup materi yang sudah diberikan pada diklat keterampilan pelaut “Bridge Resource Management” (BRM). Hal ini sudah beberapa kali saya sampaikan pada kesempatan-kesempatan mengikuti loka-karya yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan SDM Perhubungan Laut (PP SDM Hubla) dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dalam penyusunan kurikulum untuk ‘up-dating’ sertifikat kepelautan sesuai STCW 1978 amendment 2010.

Penutup

Keselamatan dilaut, khususnya upaya mencegah terjadinya tubrukan antara kapal-kapal adalah mutlak dan sangat penting. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama lebih mendalami dan memahami azas, sistimatika dan substansi tiap-tiap Aturan Colreg 1972 secara menyeluruh. Tidak ada kata terlambat. Tidak ada kata ‘malu’ walau kita sudah ANT-I…Master Mariner…. Semua kita lakukan untuk lebih meningkatkan keselamatan jiwa manusia di laut dan menjaga lingkungan maritim……

Wassalam.......

Sunday 30 September 2012

STCW-F 1995 Mulai Diberlakukan Tanggal 29 September 2012

Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi dan Dinas-jaga untuk Personil Kapal Perikanan, 1995 (STCW-F 1995) mulai berlaku pada tanggal 29 September 2012.

Konvensi STCW-F menetapkan persyaratan minimum pelatihan dan sertifikasi untuk awak kapal penangkap ikan yang berlayar di laut lepas dengan panjang 24 meter atau lebih. Konvensi ini terdiri dari 15 pasal (Article) dan lampiran yang berisi peraturan-peraturan teknis.

Konvensi STCW-F telah diratifikasi oleh 15 negara: Kanada, Denmark, Islandia, Kiribati, Latvia, Mauritania, Maroko, Namibia, Norwegia, Palau, Federasi Rusia, Sierra Leone, Spanyol, Republik Arab Suriah dan Ukraina, dan juga oleh Faroes, Denmark.

Pelaut kapal perikanan Indonesia

Bagaimana dengan pelaut-pelaut kita? Seperti kita ketahui, pelaut-pelaut kita banyak yang bekerja di kapal-kapal perikanan, baik itu kapal-kapal penangkap ikan maupun kapal pengolah ikan di laut. Baik di dalam maupun di luar negeri. Di kapal berbendera Indonesia maupun di kapal berbendera asing, kiranya dengan diberlakukannya STCW-F 1995 ini, akan menimbulkan dampak yang serius terhadap nasib ribuan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal ikan (terutama kapal berbendera asing).

Selama ini, pemerintah Indonesia memberlakukan dua jenis sertifikat kompetensi untuk para pelaut kita, yaitu sertifikat Ahli Nautika dan Ahli Tehnika untuk kapal niaga (bukan perikanan), sertifikat ANKAPIN dan ATKAPIN (Ahli Nautika Kapal Ikan dan Ahli Teknika Kapal Ikan) untuk kapal-kapal perikanan.
Ahli Nautika dan Ahli Nautika berkiblat pada STCW 1978, dan Indonesia sudah meratifikasi sejak tahun 1986, serta telah diakui secara internasional, dengan pengakuan Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk kedalam IMO White-list dalam pelaksanaan STCW 1978. Sedangkan untuk ANKAPIN dan ATKAPIN diterbitkan berdasarkan ketentuan Nasional. Oleh karena itu kita sering mendengar bahwa pemegang sertifikat ANKAPIN dan ATKAPIN belum mendapatkan pengakuan secara internasional, sehingga Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjenhubla) memfasilitasi upaya penyetaraan sertifikat dari ANKAPIN ke Ahli Nautika dan ATKAPIN ke Ahli Tehnika, agar pelaut kapal ikan kita dapat bekerja di kapal-kapal asing, dan berlayar ke luar negeri.

Saya membaca dari berbagai media online tentang nasib pelaut kapal ikan Indonesia, sangat memprihatinkan. Coba baca berita online yang dilansir oleh harian Pikiran Rakyat pada tanggal 26 September 2012 di http://www.pikiran-rakyat.com/node/197358. Bahwa banyak pelaut Indonesia di kapal-kapal ikan Korea terancam diturunkan dan perusahaan kapal ikan korea tidak mau menerima pelaut dari Indonesia karena mereka banyak yang melarikan diri dari kapal dan bekerja di darat (Korea).
Harian Suara Pembaruan tanggal 25 September juga memberitakan bahwa diperkirakan 80% pelaut asing banyak yang bekerja di kapal-kapal perikanan Indonesia. Berita selengkapnya di:

Dengan berlakunya STCW-F 1995 pada tanggal 29 September 2012, maka mau tidak mau, pemerintah Indonesia harus segera meratifikasi konvensi ini, mengingat banyak pelaut Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing dan banyaknya kapal asing yang masuk wilayah Indonesia, serta orang asing yang bekerja di kapal ikan Indonesia.

Salah satu kendala bagi pelaut kapal ikan kita adalah kata ‘Nelayan’. Pada umumnya, yang kita sebut ‘nelayan’ tersebut mayoritas dengan latar belakang pendidikan umum yang rendah. Mungkin banyak juga diantara nelayan kita justru tidak pernah mengenyam pendidikan umum yang layak. Lebih memprihatinkan lagi kalau mereka ada yang "buta huruf". Kalau mereka bertahan pada kapal2 dibawah 24 meter memang tidak terpengaruh dengan berlakunya STCW-F 1995 ini. Namun perlu diingat bahwa salah satu instrumen hukum IMO juga ada yang mengatur tentang keselamatan kapal2 ikan kecil di bawah 24 meter (Safety measure for small fishing vessels, Code of Safety and the Voluntary Guidelines on fishing vessels below 12 m in length, and undecked fishing vessels of any size).  Berita selengkapnya dapat di baca di
http://www.imo.org/OurWork/Safety/Regulations/FishingVessels/Pages/Default.aspx. Sangat dimungkinkan ketentuan untuk pelaut kapal ikan kecil juga akan diatur secara internasional. Maka hal ini harus diwaspadai dan diantsispasi secara dini agar nantinya tidak menjadi beban berat bagi kita untuk melaksanakannya.

Berbeda dengan STCW 1978 yang berlaku untuk semua kapal yang berlayar di laut tanpa melihat ukuran dan jenisnya, STCW-F 1995 hanya diberlakukan untuk kapal-kapal perikanan yang panjangnya 24 meter atau lebih. Sehingga kapal-kapal ikan yang panjangnya kurang dari 24 meter terbebas dari ketentuan konvensi ini. Tentunya kita dapat mengatur sendiri di dalam Indonesian NCVS (Non Convention Vessel Standard) yang telah diberlakukan sejak tahun 2010 yang lalu.

Mengingat STCW-F 1995 ini adalah instrumen hukum dari IMO, dan Administration IMO di Indonesia adalah Ditjenhubla, maka pelaksanaannya adalah merupakan tanggung jawab Ditjenhubla. Dengan demikian Pusbang SDM Hubla akan bertambah lagi tugas-tugasnya untuk menyusun kurikulum dan silabus berdasarkan STCW-F 1995 ini, sedangkan Ditjenhubla dan Pusbang SDM Hubla saat ini sedang dibebani tugas berat berkaitan dengan pemberlakuan STCW 1978 amandemen Manila 2010. Mudah-mudahan Pusbang SDM dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mampu bekerja sama dengan Pusbang SDM Hubla, serta semua pemegang kepentingan dapat membantu agar pelaksanaan STCW-F di Indonesia dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan, sehingga ribuan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing dapat diselamatkan

Konferensi diplomatik tentang Torremolenos Protocol 1993
  
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada tanggal 9 – 11 Oktober 2012 (yang akan datang), IMO juga akan menyelenggarakan Konferensi Diplomatik untuk mempertimbangakan dan mengadopsi Torremolenos Protokol 1993, yaitu protokol dari konvensi Internasional tentang keselamatan kapal ikan, yang pertama di adopsi di Torremolenos, Spanyol pada tahun 1977 dengan nama 1977 Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing Vessels. Konferensi diplomatik tersebut akan dilaksanakan di Cape Town, Afrika Selatan.

Delegasi Indonesia pada sidang-sidang IMO sebelumnya, banyak memberikan kontribusi dalam penyusunan konsep protocol ini pada sidangnya tahun 2007 – 2011, khususnya pada sidang-sidang sub komite SLF (Stability and Load Lines and Fishing Vesseles) yang mampu memberikan perimbangan antara keinginan negara-negara Eropa dan negara-negara Asia, mengingat konstruksi kapal-kapal Eropa berbeda dengan kapal-kapal ikan di Asia. Selain itu, Indonesia juga pernah menjadi tuan rumah dalam loka-karya tentang keselamatan kapal ikan ini di Bali tahun 2010, dan Ketua Sidang pada loka-karya tersebut adalah juga dari Indonesia. Namun saya tidak tahu sejauh mana pemerintah Indonesia mempersiapkan keikut-sertaannya dalam Konverensi Diplomatik bulan Oktober ini, baik dari Ditjenhubla, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta pihak-pihak yang berkepentingan lainnya…….???


So, what we can do, let do it together.....from now...! Whoever you are, wherever you are, whatever your position, I beleive you could contribute to our beloved country....Indonesia........Jayalah negeriku....jayalah bangsaku...!

Thursday 13 September 2012

Electronic Chart Display and Information System (ECDIS)

-->
Pendahuluan

Pada tanggal 13 September 2012, International Maritime Organization (IMO) memberitahukan melalui situsnya www.imo.org, tentang pemberitahuan yang disampaikan oleh para pembuat (produsen) Electronic Chart Display and Information System (ECDIS) bahwa terdapat versi yang terbaru tentang perangkat lunak ECDIS untuk mengoperasikan peralatan. Langkah ini bertujuan untuk menghilangkan kesulitan2 yang terjadi pada penggunaan perangkat lunak dengan menggunakan versi lama, yang selama ini dialami dalam pengoperasian ECDIS di atas kapal.

Informasi tentang perangkat lunak versi terbaru ini juga akan di beritahukan melalui situs International Hydrographic Office (IHO), termasuk link terkait, agar kapal2 dapat mengunduhnya. Para produsen ECDIS juga berjanji bersedia bekerja sama dengan semua pemerintah negara pihak SOLAS untuk membahas dan menyelesaikan masalah ini hingga jangka waktu yang panjang.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa sejak diterimanya amendment SOLAS khususnya Bab V Regulation 19 paragraph 2 (SOLAS V/19-2) melalui Resolusi MSC nomor MSC.282(86) tertanggal 5 Juni 2009, bahwa kapal2 yang terkena ketentuan SOLAS wajib dilengkapi dengan ECDIS, dimulai pemberlakuannya terhadap kapal2 penumpang 500 gt atau lebih dan kapal2 tanker 3000 gt atau lebih pada tanggal 1 Juli 2012, sampai pada akhirnya nanti pada tanggal 1 Juli 2018 semua kapal yang terkena ketentuan SOLAS harus sudah dilengkapi dengan ECDIS.

Apakah ECDIS itu?

Seperti kepanjangannya yaitu Electronic Chart Display and information System, atau sistim informasi dan tampilan peta elektronik, maka ECDIS adalah sistim navigasi dengan mengandalkan tampilan peta secara electronik yang dihubungkan dengan berbagai peralatan navigasi lainnya di anjungan seperti Global Positioning System (GPS), kemudi kapal, Radar, AIS, dan sistim manajemen keselamatan (SMS), serta peralatan navigasi lain di anjungan, yang secara keseluruhan adalah untuk merencanakan pelayaran, memonitor posisi kapal selama pelayaran sehingga kapal berlayar dengan aman dan selamat yang lebih efisient dibanding dengan sistim konvensional sebelumnya.

Konon ECDIS ini menjanjikan berbagai kelebihan antara lain:
1.     Efficient: sistim ini menjanjikan penyusunan rancangan pelayaran dapat dilakukan dengan cara yang lebih efficient. Mengapa demikian? Karena sistim ini mampu mengakomodasi penyusunan rancangan pelayaran tidak hanya satu route saja, termasuk keadaan cuaca, arus pasang surut, pemilihan peta, dan hal2 lain yang diperlukan dalam penyusunan rancangan pelayaran dapat dilakukan secara otomatis dan sesuai dengan parameter yang disyaratkan oleh konvensi.
2.     Chart Management and digital publication: bahwa pemilihan peta yang akan digunakan pada sebuah kapal dapat dipilih secara digital, termasuk pemesanan peta yg dibutuhkan dapat dilakukan secara online, serta koreksi peta dapat dilakukan secara otomatis, tidak perlu melakukan koreksi secara manual dengan menggunakan terbitan Berita Pelaut (BPI) atau Notice to Mariner (NTM).
3.     Display of information: tampilan berbagai informasi tentang pelayaran dapat dilihat pada satu monitor, termasuk daerah2 larangan berkaitan dengan pemberlakuan MARPOL, daerah berbahaya ancaman perompakan di laut, daerah2 bahaya navigasi lainnya, termasuk adanya kapal2 lain di sekitar kapal sendiri, informasi tentang cuaca, informasi lengkap tentang karakter pelampung, suar dan sebagainya, dapat dilihat pada satu monitor.
4.     Integration: Sebagaimana tadi sudah didefinisikan, berbagai macam peralatan navigasi di anjungan dapt diintegrasikan sehingga pengoperasiannya dapat lebih praktis dapat dilayani oleh satu orang. Bridge Navigation Watch Alarm System (BNWAS) yang juga disyaratkan oleh IMO, juga dapat diintegrasikan dengan ECDIS. Mengoperasikan beberapa peralatan seperti RADAR, ECDIS, CONNING, AMS, dan E-LOG Book dapat dilakukan di satu tempat kerja.
5.     Saves: dengan semua kelebihan yang dimiliki ECDIS ini, dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan pelayaran untuk membeayai operasi kapal2nya.

Pemberlakuan ECDIS sesuai SOLAS Regulation V/19-2.1.10.

Setiap kapal yang terkena ketentuan SOLAS nantinya harus dilengkapi dengan ECDIS. Namun waktu pemberlakuan terhadap jenis dan ukuran kapal yang berbeda tidak bersamaan. Dibawah ini adalah ilustrasi pemberlakuan ECDIS bagi kapal2 dengan jenis dan ukuran yang berbeda:



Kompetensi operator di atas kapal

Dengan diperkenalkannya sistim navigasi baru ini tentunya harus diikuti dengan pelatihan2 yang harus diberikan kepada para Mualim dan Nakhoda di atas kapal. Untuk itu maka STCW 1978 Amendment Manila 2010 telah mengakomodir kompetensi yang harus dimiliki oleh para Mualim dan Nakhoda Pelayaran Niaga sebagaimana dituangkan kedalam STCW Bab II dan kompetensi lebih rinci dituangkan ke dalam STCW Code Section A-II/1 - 4.

Kendala yang dihadapi saat ini tentang pelatihan ECDIS adalah bahwa para operator ECDIS wajib melaksanakan 2 jenis pelatihan, yaitu Generic Training (sesuai STCW) dan Manufacturer/Factory Training (Specific Training) mengingat setiap pabrik pembuat ECDIS memiliki model yang berbeda. Artinya, apabila seseorang telah memiliki sertifikat diri suatu diklat ECDIS di darat, belum tentu dapat mengoperasikan langsung secara optimal, apabila peralatan yang ada di atas kapal tidak sama dengan peralatan/simulator yang digunakan pada diklat yang mereka ikuti.

Bebrapa waktu yang lalu, Pusbang SDM Hubla telah melaksanakan TOT ECDIS utnuk para instruktur dari seluruh Diklat dibawah pembinaan Pusbang SDM Hubla STIP Jakarta, PIP Semarang dan Makassar, BP3IP Jakarta, BP2IP Barombong, Tangerang, Surabaya, Sorong dan Aceh), diikuti juga beberapa peserta instruktur dari Diklat Pertamina (Pertamina Maritime Training Centre) Jakarta. Diharapkan pada implementasi STCW 1978 amendment Manila 2010, semua institusi Diklat Maritim telah mampu melaksanakan pelatihan tentang ECDIS ini.

Demikian tulisan saya saat ini tentang ECDIS, mudah2an dapat memberikan gambaran sedikit tentang ECDIS dan perkembangannya sampai saat ini.

Semoga bermanfaat. Salam

Tuesday 11 September 2012

Proyek Marine Electronic Highway (MEH) di Selat Malaka dan Selat Singapura (suatu pendekatan inofatif manajemen perairan sempit dan padat)


Pendahuluan
Pada tanggal 3 Agustus 2012 yang lalu, Sekjen IMO Mr. Koji Sekimizu secara simbolis telah menyerahkan Sistim IT untuk proyek Marine Electronic Highway (MEH) kepada pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Dirjen Perhubungan Laut bapak Leon Muhammad. Serah terima tersebut berlangsung di kantor MEH (Project Management Office) di Batam. Adalah merupakan kebanggaan bahwa pada proyek MEH ini IMO memberi kepaercayaan kepada pemerintah Indonesia. Namun dengan menerima sistim IT tersebut berarti pemerintah Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk mengoperasikan, merawat, dan memperbaiki apabila ada kerusakan dalam pengoperasiannya. Tentunya memerlukan financial-budgeting yang tidak sedikit untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut. Pemilihan tempat dan lokasi kantor untuk proyek MEH ini di Batam tentunya telah merupakan hasil kesepakatan antara 3 negara pesisir (littoral state) dimana Selat Malaka dan Selat Singapura berada yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura. Ini adalah bentuk kepedulian Negara Indonesia terhadap upaya peningkatan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritime di Selat Malaka dan Singapura. Dan ini adalah merupakan kebanggaan serta kehormatan bagi pemerintah Indonesia yang dipercaya oleh IMO untuk mengoperasikan sistim IT untuk proyek MEH ini. 

Latar belakang

Sejak tahun 1990an, penggunaan computer untuk navigasi di kapal-kapal niaga menunjukkan tren yang meningkat secara pasti, terutama setelah dikenalkannya peta elektronik dengan standard S-57 dari organisasi hydrographic internasional IHO, dan ditrimanya sistim ECDIS di sidang Maritime Safety Committee di IMO,  yang kemudian disambut dengan serta merta oleh perusahaan pelayaran dengan melengkapi kapal-kapalnya dengan peralatan-peralatan elektronika.
Selat Malaka dan Selat Singapore, adalah merupakan selat yang menghubungkan antara Negara-negara eropa dan Negara-negara teluk persi dengan Negara-negara di Asia Timur dan Asia Timur Jauh. Semua Negara yang berdiskusi di sidang-sidang IMO menyadari bahwa Selat Malaka dan Selat Singapura semakin lama semakin ramai dan padat dilalui oleh kapal2, mulai dari kapal-kapal domestic yang memiliki ukuran kecil sampai dengan kapal super-tanker (Ultra Large Crude Carrier-ULCC). Sebelum proyek MEH ini ada, di Selat Malaka dan Singapura telah tersedia fasilitas di pelabuhan untuk memonitor lintasan kapal2 yang melintasi kedua selat tersebut baik hanya melintasi maupun singgah di pelabuhan2 Indonesia, Malaysia dan Singapura. Namun fasilitas yang ada tersebut masih diadakan dan dilaksanakan oleh masing2 negara pantai (Indonesia, Malaysia dan Singapura) secara individu.
Pada waktu itu Mr. Koji Sekimizu masih menjabat sebagai Direktur Marine Environmental Division memiliki gagasan untuk membuat proyek di kedua selat tersebut sebagai pilot-project dalam upaya menjaga selat terhadap bahaya pencemaran lingkungan maritime. Selanjutnya proyek tersebut juga telah dikembangkan untuk meningkatkan keselamatan pelayaran di perairan tersebut.

Dibawah ini adalah contoh fasilitas yang telah ada di selat Malaka dan Singapore, dalam menunjang keselamatan pelayaran dan manajemen perlindungan lingkungan maritime, sebagai titik tolak dalam  pengembangan proyek MEH
Facility and Information Technology
Coverage in the Straits
Indonesia
Malaysia
Singapore
Straits-wide
VTS

Radar System

ENCs

DGPS Broadcast Service


STRAITREP
Ship Routeing System
GMDSS
GIS-based Environmental Database
Pollution Dispersion Model



Oil Spill Trajectory Model

Maksud dan tujuan dilaksanakannya proyek MEH adalah:

1.   Upaya meningkatkan keselamatan pelayaran di selat Malaka dan Singapura yang makin lama makin ramai dengan kapal-kapal laut.
2.  Menjaga kelestarian lingkungan maritime di selat, yaitu meningkatkan Oil-spill response dengan menggunakan manajemen yang lebih canggih dan terpadu diantara 3 negara pesisir (Indonesia, Malaysia, Singapura).
3.     Memanfaatkan kelebihan-kelebihan tersedianya fasilitas navigasi secara digital.

Rancangan proyek MEH

Dalam melaksanakan proyek MEH, terdapat 5 komponen untuk melaksanakan yang dinamakan Demonstration Project yaitu:

1.     Komponen 1: MEH System Design, Coordination and Operation;

2.     Komponen 2: MEH System Development;

3.     Komponen 3: Ship-board equipment and communications;

4.     Komponen 4: Marine Environment Protection; dan

5.     Komponen 5: Information Dissemination, Evaluation and Scale-Up Plan.

Dalam melaksanakan 5 komponen tersebut diatas, diperkirakan akan memerlukan beaya sebesar US$.17,85 triliun, dimana US$.8,3 triliun di danai oleh Global Environment Facility (melalui World Bank), US$.6,0 triliun dibeayai oleh para pemilik kapal, US$.2,7 triliun dibebankan kepada 3 negara pesisir (Indonesia, Malaysia dan Singapura) dan US$.0,85 triliun sumbangan dari Korea Selatan (Ministry of Land, Transport and Maritime Affairs). Indonesia mendapat tugas untuk mengerjakan bagian dari komponen 2 yaitu mengadakan fasilitas untuk pengukuran pasang surut dan arus pasang surut (Tide and Current Facilities)

Pelaksanaan Demonstration Project tahap Pertama
Pada waktu penulis bertugas di London sebagai Atase Perhubungan, sering terlibat diskusi informal dengan Mr. Miguel Palomares yang saat itu menggantikan Mr. Koji sebagai Direktur Marine Environmental Division. Dalam diskusi informal tersebut Mr. Palomares sering mengeluh tentang terhentinya proyek MEH tersebut.
Dari yang penulis ketahui, ternyata pada tahun 2008 tersebut proyek MEH telah terhenti kegiatannya selama lebih dari 3 tahun, sehingga terjadi pembengkakan beaya pelaksanaan apabila dilanjutkan. Dana untuk melaksanakan proyek MEH ini telah dikucurkan oleh World Bank untuk kepentingan perlindungan lingkungan maritime. Dalam pertemuan2 yang dilakukan oleh 3 negara pesisir (Indonesia, Malaysia dan Singapura) yang dikenal dengan TTEG (Tripartite Technical Expert Group) dan difasilitasi oleh IMO, telah disepakati Indonesia sebagai focal-point proyek MEH tersebut. Oleh karena terkait dengan issue lingkungan hidup, maka tanggung jawab diserahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia.
Sebagai Atase Perhubungan, saya mencoba untuk menjembatani antara para pejabat di IMO dengan berbagai pihak di Indonesia agar proyek tersebut dapat berjalan kembali sesuai dengan yang direncanakan. Hampir setiap kesempatan, baik ada ataupun tidak ada sidang di IMO, saya selalu berkomunikasi dengan Mr. Palomares, James Po, dan beberapa staf IMO yang lain, dan hasil komunikasi tersebut kami tuangkan dalam sebuah laporan tertulis berupa berita fax (brafax) yang ditanda tangani oleh Dubes RI. Disamping itu, saya selalu melakukan korespondensi dengan para pejabat Indonesia terkait.
Untuk Demonstration Project yang pertama, perlu dilakukan pemetaan secara elektronik di sepanjang selat Malaka dan Singapura. Pihak-pihak yang terkait di Indonesia antara lain: Direktorat Jenderal Perhubungan Laut sebagai Administration IMO, Kementerian Lingkungan Hidup sebagai fokal point dan sekaligus sebagai penerima dana, dan Dinas Hidrografi dan Oceanografi AL sebagai institusi yang berwenang untuk memetakan wilayah laut Indonesia.
Akhirnya pada awal tahun 2010 proyek tersebut dapat berjalan lagi dengan melakukan Demonstration Project tahap Pertama, yang kemudian hasilnya merupakan serah terima dari Sekjen IMO Mr. Koji Sekimizu kepada pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Dirjen Hubla Bapak Leon Muhammad pada tanggal 3 Agustus 2012 yang lalu.
Semoga kita mampu mengemban tugas ini, sehingga makin kokoh dukungan negara-negara anggota IMO yang lain kepada pemerintah Indonesia, khususnya dalam setiap pemilihan anggota Dewan IMO, yang diselenggarakan setiap 2 tahun sekali, dan semoga proyek ini nantinya dapat selesai secara keseluruhan dalam waktu yang tidak berlarut-larut, demi meningkatkan keselamatan pelayaran di Selat Malaka dan Singapura serta menjaga kelestarian lingkungan maritime dari pencemaran.