Tuesday 3 January 2012

IMO di COP 17 dan Partisipasi Indonesia dalam upaya mengurangi pengaruh Green-House Gas Emission


Top of Form
Partisipasi IMO di Confernce Of the Parties dari pada UNFCCC (COP 17/CMP 7) 

Dalam upaya mencapai misinya - safe, secure and efficient shipping on clean oceans (pelayaran yang selamat, aman dan efisien di samudera yang bersih)
- IMO senantiasa bekerja keras dan secara konsisten mengembangkan suatu rezim peraturan yang komprehensif (menyeluruh) yang bertujuan melindungi dan melestarikan dengan cara yang efektif baik terhadap lingkungan laut maupun atmosfer udara dari polusi yang ditimbulkan oleh beroperasinya kapal-kapal laut.

Hasil sidang MEPC 62 pada bulan Juli 2011, langkah-langkah wajib untuk mengurangi pengaruh gas rumah kaca (GRK) dari pelayaran internasional yang diadopsi oleh Negara-negara Pihak MARPOL Annex VI, adalah yang pertama mewakili rezim yang mewajibkan pengurangan Karbon-dioksida (CO2) secara global untuk sektor industri internasional. Amandemen MARPOL Annex VI - Peraturan untuk mencegah polusi udara dari kapal-kapal laut, menambahkan bab baru pada Annex VI yaitu bab 4 Peraturan tentang efisiensi energi untuk kapal-kapal wajib menggunakan Indeks Desain Efisiensi Energi (Energy Efficiency Design Index - EEDI) untuk kapal baru, dan memiliki Rencana Pengelolaan Efisiensi Energi Kapal (Ship energy Efficiency Management Plan - SEEMP) untuk semua kapal. Peraturan berlaku untuk semua kapal tonase kotor 400 ke atas, dan diharapkan mulai berlaku secara internasional melalui prosedur tacit acceptance pada tanggal 1 Januari 2013 (tentang tacit acceptance dapat di baca pada posting saya tahun 2010 lalu tentang “Penerimaan Perjanjian Internasional oleh Sebuah Negara”).

Hal inilah yang menjadi latar belakang titik tolak dan selanjutnya dengan mandat yang diterima dari sidang MEPC 62, bahwa IMO harus berpartisipasi dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Durban, Afrika Selatan (COP 17), yang diselenggarakan dari tanggal 28 November sampai 9 Desember 2011 yang lalu. Delegasi IMO yang dipimpin oleh Sekjen IMO Mr. E.E. Metropoulos telah melaporkan hasil signifikan yang di capai dari sidang MEPC 62, dan berusaha untuk memastikan bahwa semua Negara Pihak UNFCCC terus mempercayakan kepada IMO untuk mengembangkan dan memberlakukan peraturan secara global dalam upaya mengendalikan emisi gas rumah kaca dari kapal-kapal yang melakukan perdagangan internasional.

Dalam Konferensi tersebut IMO telah memberikan informasi-informasi terbaru hasil kerja IMO tentang gas rumah kaca dan pengaruh emisi CO2 dari perkapalan internasional, melalui pengajuan dokumen secara resmi, kegiatan sosialisasi, sebuah stand pameran IMO dan melalui kegiatan yang biasa dilakukan dalam sistem di PBB.

Tujuan utama IMO berpartisipasi di Konferensi Durban (COP 17/CMP 7) adalah bahwa:
·      agar IMO terus dipercayai untuk mengembangkan dan memberlakukan peraturan global dalam upaya pengendalian emisi gas rumah kaca dari kapal yang melakukan pelayaran/perdagangan internasional;
·      peraturan harus diterapkan pada semua kapal sesuai dengan prinsip non-diskriminatif di mana kerangka peraturan IMO didasarkan, dan
·      kepentingan negara-negara berkembang sepenuhnya diperhitungkan, melalui Program Kerja Sama Teknis IMO dan dengan distribusi pendapatan yang dihasilkan oleh instrumen berbasis pasar masa depan untuk pelayaran internasional di bawah naungan IMO.

Partisipasi Indonesia dalam upaya mengurangi pengaruh gas rumah kaca (Green house gas emission - GHG Emission)

Pada saat ini Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan, yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut bekerja sama dengan Kementerian luar negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup, telah melakukan upaya percepatan ratifikasi MARPOL terhadap beberapa Annex yang belum di ratifikasi, khususnya Annex VI (Prevention of air-pollution from ships). Kegiatan ratifikasi ini menjadi prioritas kerja yang harus segera diselesaikan, selain sibuk dengan implementasi STCW 1978 amandemen Manila 2010.

Pemerintah Indonesia juga sedang menyiapkan rencana aksi dalam kaitannya dengan upaya mengurangi polusi udara, baik dari sektor perhubungan maupun industri lainnya. Dalam kegiatan ini Kementerian Perhubungan juga telah memberikan masukan2 tentang potensi kemungkinan besaran terjadinya polusi udara yang diakibatkan oleh kapal-kapal laut, baik yang berbendera Indonesia maupun kapal-kapal asing yang singgah di pelabuhan-pelabuhan Indonesia.

Sebagai negara pantai (coastal state) Indonesia juga berpartisipasi aktif dalam mensukseskan proyek Marine Electronic Highway (MEH) di Selat Malaka dan Selat Singapura, bekerja sama dengan IMO, Malaysia dan Singapura. Proyek MEH ini, yang dideleberasikan pada awal tahun 2003,

Semoga informasi diatas bermanfaat bagi teman-teman, terutama teman-teman yang tertarik dengan informasi tentang dunia maritim.

Salam kompak selalu dari kami di Jakarta....!!!
Bottom of Form

4 comments:

  1. Selamat Malam Capt,...
    Menurut saya link ini sangat menarik,...apalagi yang membuat Senior.

    ReplyDelete
  2. terima kasih atas 'comment' dan 'reaction'nya....semoga ada manfaatnya buat teman2....amin

    ReplyDelete
  3. Terimakasih Capt. Hadi, artikelnya sangat bermanfaat. saya saat ini sedang mengerjakan Tugas Akhir tentang polusi karbon di tanjung perak. Ingin menanyakan, apakah Indonesia mempunyai peraturan tentang batas polusi udara terutama karbondioksida? dan apakah indonesia sudah meratifikasi EEDI dan SEEMP?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pak Danang, terima kasih telah membaca tulisan saya. Pemerintah Indonesia telah lama sebelum meratifikasi MARPOL, sudah menetapkan batas polusi melalui PP nomor 41 tahun 1999, tetapi khusus untuk maritim, bapak bisa tanyakan ke Ditjenhubla. Sedangkan EEDI dan SEEMP bukan konvensi, jadi tidak perlu ratifikasi. Yang di ratifikasi adalah MARPOL ANNEX VI. Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi (lebih tepatnya meng aksesi) MARPOL ANNEX VI pada bulan Agustus 2012. Berita tentang aksesi MARPOL oleh Indonesia dapat bapak baca melalui situs IMO berikut: http://www.imo.org/MediaCentre/PressBriefings/Pages/33-indonesiaratifies.aspx#.VBlUQ-eoUpM. Untuk implementasinya, pemerintah Indonesia menggunakan Undang-Undang nonmor 17 tahun 2008 dan peraturan2 pelaksanaan lain termasuk PP nomor 41 tahun 1999 dan Peraturan Dirjen Hubla.

      Delete