Friday 30 August 2013

Rekomendasi Sementara Dari IMO Dalam Upaya Meningkatkan Keselamatan Bagi Kapal-kapal Penumpang



Pendahuluan.
Pada tanggal 20 Juli 2012 yang lalu, saya pernah menulis di blog ini tentang upaya untuk meningkatkan keselamatan bagi kapal-kapal penumpang oleh negara-negara anggota IMO melalui sidang Maritime Safety Committee (MSC) sebagai rasa empati terhadap musibah tenggelamnya kapal Costa Concordia di perairan Italia, dengan merevisi Peraturan III/17-1 dari pada SOLAS 1974.

Rekomendasi awal yang pernah diumumkan oleh sekretariat IMO kepada para pemilik dan/atau operator kapal untuk meningkatkan keselamatan bagi kapal-kapal penumpang adalah melalui Surat Edaran (Circular) nomor MSC.1/Circ.1446, yang kemudian pada sidang MSC yang ke 91 d revisi menjadi MSC.1/Circ.1446/rev.1. Pada sidang MSC sesi ke 92 yang dilaksanakan dari tanggal 12 – 21 Juni 2013 yang lalu para anggota IMO yang hadir sepakat untuk me revisi kembali surat edaran yang telah ada menjadi MSC.1/Circ.1446/Rev.2.

Pokok-pokok yang terkandung pada MSC.1/Circ.1446/Rev.2
Pada prinsipnya pesan utama yang terkandung pada MSC.1/Circ.1446/Rev.2 adalah ditujukan kepada pemilik kapal dan operator kapal khususnya kapal penumpang, untuk lebih meningkatkan pengaturan dan pengawasan terhadap pengoperasian kapal-kapalnya dalam upaya meningkatkan keselamatan jiwa manusia, khususnya penumpang di atas kapal.
Pokok-pokok yang di sampaikan pada circular tersebut antara lain:
1.       Pengaturan tentang rompi penolong di kapal penumpang (Lifejackets on board passenger ships), selain dari pemenuhan terhadap Peraturan III/17 dan III/22 Solas 1974, ditambah dengan ketentuan tentang kesamaan rompi penolong yang diletakkan di geladak atau tempat berkumpul (Muster/assembly point) sehingga memudahkan cara pemakaian oleh para penumpang, dan pengaturan bagi rompi penolong yang di dalam ruang penumpang, harus dapat mudah dilihat dalam keadaan penerangan yang sangat minim.
2.       Petunjuk keadaan darurat untuk para penumpang (emergency instructions for passengers). Pada circular  ini sidang meminta kepada semua operator kapal penumpang untuk meninjau kembali bagaimana petunjuk keadaan darurat disebar-luaskan dan dapat diketahui oleh semua penumpang dengan jelas, termasuk penggunaan bahasa yang dapat dimengerti oleh semua penumpang. Selain itu, operator kapal juga diminta untuk memperhatikan perlunya informasi tambahan melalui video, dan sebagai tambahan dari ketentuan SOLAS, bila diperlukan, ditambah dengan ‘kartu informasi keadaan darurat’ (emergency information card).
3.       Lepas dari ketentuan pada bab III SOLAS, operator kapal wajib memperhatikan 12 elemen umum tentang petunjuk berkumpul dan petunjuk dalam keadaan darurat (Common elements of musters and emergency instructions). Ke 12 elemen tersebut adalah:
a.       Kapan dan bagaimana cara memakai rompi-penolong;
b.       Rincian tentang tanda-tanda keadaan darurat yang berbeda dan bagaimana respon yang seharusnya bila terjadi terhadap keadaan darurat yang berbeda tersebut;
c.        Tempat dari semua rompi-penolong yang ada di atas kapal;
d.       Di tempat mana harus berkumpul apabila tanda keadaan darurat berbunyi;
e.        Bagaimana cara menghitung penumpang di tempat berkumpul baik pada waktu latihan maupun pada kejadian yang sesungguhnya;
f.        Bagaimana infromasi akan diberikan apabila terjadi keadaan darurat;
g.        Apa yang diharapkan apabila nakhoda kapal memerintahkan harus dilakukan evakuasi meninggalkan kapal;
h.       Informasi tambahan apa yang disediakan di kapal;
i.         Petunjuk tentang apakah perlu para penumpang harus kembali ke kamarnya masing-masing sebelum menuju tempat berkumpul, misalnya menyiapkan obat-obatan, baju yang harus dikenakan dan wajib mengenakan rompi-penolong;
j.         Diskripsi tentang kunci sistim keselamatan dan rincian kelebihannya (description of key safety systems and features);
k.       Penunjukan rute dan jalan keluar bila terjadi keadaan darurat (emergency routing systems and recognizing emergency exits); dan
l.         Dalam keadaan darurat, siapa saja yang dapat dimintai informasi tambahan oleh paara penumpang.
4.       Kebijakan operator kapal tentang wajib latihan keadaan darurat bagi penumpang (passengers muster policy). Apabila kapal akan berlayar lebih dari 24 jam, penumpang yang baru naik kapal wajib mengikuti latihan keadaan darurat sebelum kapal berlayar. Ababila terdapat penumpang yang naik kapal setelah latihan dilaksanakan, maka ia/mereka harus diberikan brifing secara individu atau kelompok. Untuk membantu Nakhoda dalam menyusun ‘Muster List’, operator kapal harus memberikan informasi tentang kompetensi setiap kapal, bila mungkin secara otomatis bahwa orang yang tidak mampu melaksanakan tugas tertentu akan ditolak oleh sistim bila ia dimasukkan dalam daftar orang yang terlibat dalam keadaan darurat.
5.       Operator kapal wajib membuat aturan dan pengaturan yang ketat tentang orang yang dapat masuk anjungan, agar tidak mengganggu Nakhoda dan navigator lainnya pada saat mengoperasikan kapal.
6.       Operator kapal wajib membuat harmonisasi prosedur navigasi di anjungan dari tiap-tiap kapal yang dimilikinya, dengan memperhatikan kekhususan tiap-tiap kapal.
7.       Operator kapal penumpang wajib mengawasi secara ketat pelaksanaan pembuatan Rancangan Pelayaran, yang harus sesuai dengan Guidelines for voyage planning (resolution A.893(21)) dan bila dianggap tepat, sesuai dengan the Guidelines on voyage planning for passenger ships operating in remote areas (resolution A.999(25)).
8.       Operator kapal wajib membuat catatan rekaman (record) kebangsaan dari semua penumpang yang ada di atas kapal.
9.       Kewajiban operator kapal untuk membuat prosedur memasuki sekoci penolong pada waktu latihan penurunan sekoci sesuai dengan ketentuan SOLAS.
10.    Operator kapal wajib membuat prosedur berkaitan dengan benda berat di atas kapal yang harus di ikat (lashing) dan dituangkan kedalam Ship Management System (SMS).
11.    Operator kapal juga diwajibkan menyedakan suatu sistim dimana olengan kapal selama pelayaran, tercatat pada Voyage Data Recorder (VDR).
Kesimpulan
Dengan disetujui surat edaran (Circular) MSC.1/Circ.1446/Rev.2 ini, diharapkan pemilik kapal dan/atau operator lebih memperhatikan kesiapan kapalnya dalam upaya mengurangi hilangnya jiwa manusia di laut. Circular ini terinspirasi oleh tema IMO pada tahun 2012, yaitu ‘100 years of the Titanic’.
Walaupun circular tersebut ditujukan kepada operator kapal, tentunya pada akhirnya menjadi tanggung jawab Nakhoda dan Awak kapal untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, teman-teman pelaut kiranya mulai sekarang harus siap, agar tidak terkejut kalau ada perintah-perintah dari perusaaan tentang hal tersebut di atas.

Bagaimana pemerintah Indonesia? Mengingat banyaknya pengoperasian kapal penumpang dan ferry di Indonesia, tentunya pemerintah Indonesia harus membuat pengaturan-pengaturan baru yang disesuaikan dengan circular MSC.1/Circ.1446/Rev.2 tersebut, demi untuk meningkatkan keselamatan jiwa di laut.

Monday 5 August 2013

Sidang di International Maritime Organization (IMO)



Pendahuluan.
Pada tanggal 10 – 12 Juli 2013 yang lalu, saya telah diberi kesempatan lagi untuk mengikuti sidang IMO setelah 2 tahun absen, karena sudah purna tugas sebagai Atase Perhubungan di London dari tahun 2007 – 2011. Sidang yang saya ikuti tersebut adalah sidang Technical Cooperation Committee (TC) sesi yang ke 63. Ada hal yang menarik yang mendorong saya untuk menuliskan ini di blog saya.
Hal yang menarik tersebut adalah pernyataan salah satu teman delegasi dari Indonesia yang baru sekali mengikuti sidang. Pernyataan itu disampaikan pada waktu perjalanan kembali ke Indonesia. Pernyataannya adalah sebagai berikut: “Pada awalnya saya tidak tertarik dengan jalannya sidang karena sepertinya sudah diatur sebelumnya. Tetapi pada hari terakhir delegasi Iran sempat bersitegang dengan delegasi Panama karena perbedaan pendapat. Alangkah serunya kalau dari hari pertama seperti itu”.
Apakah sidang di IMO sudah diatur sebelumnya sehingga diskusinya monoton? Apakah semua sidang di IMO seperti itu? Itulah yang kemudian menjadi pertanyaan teman saya tersebut. Atas pernyataan dan pertanyaan teman saya tersebut saya ingin berbagi pengetahuan kepada teman2 tentang sidang di IMO
Sidang Technical Cooperation Committee (TC)
Sidang Technical Cooperation Committee (TC) adalah salah satu jenis sidang di IMO, yang dilaksanakan secara rutin satu tahun sekali. Sidang komite ini memiliki tugas membahas tentang upaya bantuan tehnik kepada negara-negara anggota IMO yang mengalami kesulitan di dalam mengimplementasikan instruman hukum IMO. Pembahasan pada sidang Pembahasan sidang umumnya  meluputi laporan kegiatan bantuan teknis pada tahun yang sedang berjalan dan rencana kegiatan 2 tahun yang akan datang, termasuk pendanaannya.
Sidang TC 63 tahun ini diketuai oleh Ms. Nancy Karigithu (Kenya) dan Wakil Ketua sidang Mr. Youngsun Park (Republic of Korea). Sidang diikuti oleh 67 negara anggota IMO (termasuk Indonesia), 1 negara anggota associate, 6 organisasi antar negara, 2 organisasi non-pemerintah, dan delegasi dari World Maritime University (WMU) dan International Maritime Safety, Security and Environment Academy (IMSSEA). Keikutsertaan WMU dan IMSSEA pada sidang ini karena mereka memiliki kepentingan berkaitaan dengan pendanaan, karena WMU, IMLI dan IMSSEA adalah pendidikan maritim yang mendapat dukungan penuh dari IMO untuk meningkatkan SDM maritim secara Global.
Jenis sidang di IMO.
Sidang di IMO bertahap dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Sidang yang paling rendah adalah sidang Sub-Komite. Pada saat ini terdapat 9 Sub-Komite (pada tahun yang akan datang berobah menjadi 7 Sub-Komite – baca tulisan saya sebelum ini). Ke 9 Sub-Komite tersebut adalah: Bulk Liquids and Gases (BLG), Radiocommunications and SAR (COMSAR), Ship Design and Equipment (DE), Dangerous Goods, Solid Cargoes and Containers (DSC), Fire Protection (FP), Flag State Implementation (FSI), Safety of Navigation (NAV), Stability and Load Lines and on Fishing Vessel Safety (SLF), dan Standards of Training and Watchkeeping (STW).
Sidang-sidang Sub-Komite bertugas membahas konsep rancangan ketentuan baik itu rancangan konvensi, resolusi ataupun edaran (circular) dan mempertimbangkan hal-hal teknis serta operasional dari ketentuan yang telah ada dan bila mungkin pengkajian ulang ketentuan yang sudah ada. Sidang-sidang ini biasanya sangat teknis sehingga delegasi yang hadir pada umumnya adalah pakar-pakar pada bidang yang berkaitan dengan jenis sidang, misalnya sidang NAV pada umumnya melibatkan para Nakhoda kapal atau mantan Nakhoda kapal, para syahbandar dan para perancang peralatan navigasi. Sidang COMSAR melibatkan para pakar komunikasi dan praktisi SAR, dan biasanya dihadiri juga delegasi dari Internatonal Telecommunication Union (ITU).
Hasil sidang pada tingkat Sub-Komite nantinya akan dilaporkan ke sidang Komite yang terkait. Sidang Komite di IMO adalah: Maritime Safety Committee (MSC), Marine Environment Protection Committee (MEPC), Legal Committee (LEG), Technical Cooperation Committee (TC) dan Facilitation Committee (FAL). Misalnya hasil sidang Sub-Komite NAV, STW, COMSAR, DE, dan FP umumnya dilapoarkan ke MSC. Hasil sidang sub-komite yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan, misalnya BLG dan DE, umumnya dilaporkan ke sidang MEPC.
Konsep-konsep konvensi atau resolusi atau edaran yang telah disetujui di tingkat Komite akan dilaporkan ke sidang Dewan (Council) untuk mendapatkan pengesahan. Saat ini anggota Dewan IMO (IMO Council member) terdiri dari 40 negara (Anggota IMO saat ini berjumlah 170 negara). Indonesia termasuk salah satu anggota Dewan IMO. Setiap ketentuan baru ataupun perobahan ketentuan IMO, setelah mendapatkan pengesahan di sidang Dewan akan disampaikan di sidang Assembly untuk dikukuhkan, diberlakukan dan diumumkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Dengan catatan, apabila ketentuan itu berupa konvensi baru, perlu adanya ratifikasi atau aksesi dari sejumlah negara anggota untuk dapat diberlakukan.
Sidang tiap-tiap Sub-Komite dan Komite umumnya satu tahun sekali, kecuali apabila beban tugasnya banyak, boleh jadi ditambah menjadi 2 kali setahun. Tiap-tiap sesi sidang umumnya 5 hari kerja, kecuali MSC 8 hari kerja dan TC hanya 3 hari kerja. Sidang Dewan (Council) umumnya setahun 2 kali, dan sidang Assembly 2 tahun sekali.
Proses sidang di IMO
Jadwal sidang di IMO ditetapkan 1 tahun di depan dengan persetujuan dari sidang Dewan. Setiap negara anggota dan organisasi internasional yang berkepentingan, dipersilahkan menyampaikan dokumen yang akan dibahas di sidang umumya paling lambat 1 bulan sebelum sidang dilaksanakan (batas waktu penyampaian dokumen tiap jenis sidang bisa berbeda. Selalu diberitahukan melalui surat edaran). Semua dokumen usulan dan yang disiapkan oleh secretariat IMO, di upload di web-site IMO (www.docs.imo.org/) yang dapat diakses oleh semua anggota IMO. Semua dokumen yang diajukan oleh negara anggota dan organisasi internasional harus mengacu pada agenda sidang yang telah ditetapkan sebelumnya. Apabila tidak, maka dokumen tersebut akan dibahas pada agenda sidang yang disebut “Any Other Business”. Dokumen yang diajukan dapat berupa usulan ketentuan baru, perobahan ketentuan yang sudah ada, atau hanya sekedar informasi. Dapat juga berupa sanggahan atau persetujuan atas usulan dari negara lain yang mengajukan usulan.
Pada pelaksanaan sidang, semua delegasi tentunya sebelumnya sudah mempelajari dokumen yang akan di bahas dalam sidang. Setiap delegasi telah mendapatkan mandat dari negaranya untuk menyampaikan apa yang menjadi kepentingan negaranya. Apabila tidak ada hal-hal yang ‘crucial’ biasanya sidang akan berjalan lancar, seperti sudah diatur sebelumnya. Tetapi apabila ada perbedaan kepentingan antara 2 negara atau lebih, maka diskusi pada sidang bisa memakan waktu yang panjang. Oleh karena waktu yang diberikan pada tiap sidang terbatas, maka apabila terjadi hal yang demikian, keputusan sidang dapat ditunda pada sidang berikutnya (sidang tahun yang akan datang). Atau kadang dilakukan lobi pada sesi jeda untuk memperoleh kesepakatan dari 2 atau lebih pihak yang berbeda kepentingannya.
Kesimpulan
Jadi sebenarnya sidang IMO bukan sudah diatur sebagaimana yang disangkakan, tetapi setiap negara sudah mempelajari bahan yang akan disidangkan sehingga apabila tidak terdapat hal-hal yang berlawanan dengan kepentingan negaranya atau merugikan negaranya, maka sidang hanya membacakan tiap-tiap dokumen yang masuk ke secretariat IMO. Tugas sidang hanya menyetujui dan mengesahkan dokumen-dokumen tersebut. Kalau toh ada diskusi, sifatnya hanya melengkapi informasi yang sudah ada atau upaya untuk mengurangi kerancuan pemahaman atas informasi dari dokumen yang ada.